Selasa, 17 Mei 2016

SEJARAH DESA KEBUMEN,KECAMATAN BANYUBIRU,KABUPATEN SEMARANG


Desaku adalah suatu daerah yang letaknya jauh dari keramaian kota,yang dihuni sekelompok masyarakat dimana sebagian besar pencahariaanya adalah seorang petani,dengan jmlah penduduk kurang dari 2000 orang.Awal mula terbentuknya desaku yaitu Pada tahun 1938 terjadi bencana alam di desaku berupa banjir bandang dan banjir bandang itu berasal dari Kali Pancur.Ada suatu tempat atau daerah yang dahulunya dikenal sebagai tempat pertapaan yang berada di Pereng Kuning.Tempat tersebut dijadikan sebuah tempat pengungsian oleh masyarakat penduduk desaku.Pada saat kejadian itu,juga ada kejadian perang antara Indonesia dengan belanda.Perang antara Indonesia dan Belanda terjadi kurun waktu yang lam.Masyarakat pun akhirnya menggungsi di tempat yang lain.Pada waktu masyarakat sedang menggungsi di tempat tersebut terjadilah bencana yang melanda tempat penggungsian dan daerah daerah sekitarnya.Banjir tersebut sanggat merugikan masyarakat dan menghancurkan pemukiman warga penduduk desaku dan sekitarnya.Bencana alam tersebut mengakibatkan kondisi pemukiman warga penduduk porak poranda dan masyarakat kalang kabut.Daerah yang dulunya satu bagian terpecah menjadi dua bagian,yaitu desa Likasan 1 dan Likasan 2.Desa likasan satu terletak di desa Kebumen,sedangkan desa Likasan dua terletak di desa Kepil.
Desa Kebumen yang sekarang menjadi tempat kelahiranku,terletak dibah dusun Kepil.Yang dulunya ada seorang raja yang sangat tampan  yang bernama raja Welmina yang keturunan dari orang belanda.Raja Welmina tersebut dapat menghentikan banjir dengan cara menggacungkan payung atau “CUNGPET”diacungkan payung itu banjirnya mampet atau berhenti.Ditempat kelahiran ku yaitu desa Kebumen yang dulunya suatu tempat yang dijadikan sebagai tempat penyimpanan senjata perang orang-orang Belanda.Dikala itu masyarakat dijajah oleh Jepang hingga sampai tahun 1945  Indonesia merdeka dan penjajah Belanda mundur hingga tahun 1948.Setelah kemunduran penjajah Belanda,Jepang kembali menjajah sampai sekitar tahun 1951.
Masyarakat desaku waktu dahulu kehidupanya masih mengantungkan  dengan alam sekitar.Didesaku bermata pencahariaan sebagai petani.Sedangkan panenya hanya sekali dalam satu tahun,itupun belum tentu panennya berhasil atau gagal.Begitu saja masih dikenakan apeti oleh tentara-tentara Jepang,selain dikenakan apeti juga banyak garong atau rampok yang mengambil hasil panen penduduk atau sumber daya alam penduduk.Pada waktu itu warga desaku merasakan kesulitan dan kekurangan bahan makanan.Warga penduduk desaku mulai merasakan semakin lama semakin terhimpit dan tertindas oleh orang-orang Jepang dan para perampok.
Akhirnya sebagian masyarakat sementara banyak yang memutuskan untuk mengungsi lagi di daerah lain yang letaknya jauh dari pemukiman desa.Tempat penggungsiaanya berada di serandil,yang letaknya persis di bawah gunung Telomoyo.Para garong atau masyarakat biasa menyebutnya “gagahe neng ngerong” atau rampok.Semakin lama para rampok itu makin tidak mempunyai hati nurani dan tidak berperikemanusiaan pada sebagian  penduduk yang yang masih bertahan di desa kebumen.Pada siang hari para komplotan rampok tidak ada yang beroprasi,para komplotan perampok itu beroprasi pada malam hari disaat semua warga sudah tertidur lelap,dan perampok mulai menjalankan tugasnya untuk menggambil semua yang dimiliki masyarakat Kebumen.
Pada saat itu desaku belum ada penerangan  sama sekali sehingga para perampok dengan leluasa menggambil harta yang dimiliki para warga.Masyarakat disaat itu makan hanya dengan sisa rampokan yang masih bisa dimanfaatkan.masyarakat hanya makan hasil alam yang masih tersisa,yaitu seperti ketela,ubi-ubian,kacang-kacangan dan seadanya.Karena sudah kesal dengan ulah para oarang jepang dan perampok maka para pemuda,masyarakat dan perangkat desa membentuk sebuah organisasi OPR (Organisai Pembela Rakyat) yang hanya dengan didasari dengan sebuah ketekatan dan keberanian untuk melawan para penjajah yang telah merugikan desa kami.Kemudian para penjajah yang telah gugur dipenjarakan disebuah gedung,yang keberadaan gedung itu di wilayah Banyubiru yang sekarang wilayah banyubru menjadi sebuah kecamatan didesaku.Karena paara penjajah yang dipenjara sebagian laki-laki dan sebagian perempuan maka noni-noni yang dinamai intenerbisa dimanfaatkan masyarakat dengan cara menukarkan barang-barang kepunyaan noni-noni antara lain pakaian,perhiasan dan barangbarang berharga lainyayang ditukarkan dengan makanan .Para penduduk saat itu dapat merasakan kemerdekaan,dan menuai keuntungan yang sangat banyak.
Sekitar tahun 1990 listrik mulai masuk di desaku yaitu desa Kebumen tempat kelahiranku sampai saat ini.Dengan adanya listrik masuk didesaku masyarakat banyak sekali keuntungan yang didapat antara lain kejahatan juga perampokan yang selama ini menjadi momok bagi masyarakat kini sedikit demisedikit berkurang.Mata pencahariaan masyarakat desaku kini mulai menggalami banyak perubahan yang dulunya sangat kekurangan.Bukan hanya bertani masyarakat Kebumen juga bisa menciptakan home industri Tahu,Tempe,makanan snak lainya.Yang hasilnya lumayan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.Tetapi juga ada yang sebagian sebagai buruh pabrik dan para pedagang di pasar kebumen.
Didesaku adat istiadat dan norma agama sangat kuat.Mayoritas penduduk desaku mengganut agama islam.Dengan rahmad juga rezeki yang telah dilimpahkan maka tiap bulan sapar diadakan saparan atau slametan desa.Toleransi sosial yang ada didesaku sangat kuat,dan hubungan kekerabatan warga penduduk desa didasarkan pada paguyuban,nilai gotong royong yang masih subur,sehingga sanggat menggambarkan ciri khas dari pedesaan.
Desa Kebumen berdekatan dengan tempat rekreasi dan tempat pariwisata yaitu sebagai berikut; pemandaian muncul,pemancingan muncul,taman rekreasi,bukit cinta dan tak kalah lagi dekat dengan rawa pening.
Utuk menjaga keutuhan masyarakt biar tetap aman dan damai sampai saat ini masih diadakanya siskampling,guyup rukun,dan masih adanya tradisi jawa dari nenek mooyang sampai sekarang,antara lain kelompok yasinan,sekaten,padusan dan masih ada banyak lagi.Adat istiadat didesaku dari nenek moyang sampai sekarang masih dijunjung tinggi oleh penduduk desaku.Walaupun tempat tinggalku didesa,tapi tak kalah juga dengan orang yang bertempat tinggal dikota.Disekitar desaku sudah ada sekolahan negeri maupun suwasta,semisal; SD,MI,SMP,MTS,dan SMK juga sudan ada pondok pesantren,yang mempunyai kurang lebih 1500 santri.Walaupun  tempat tinggalku didesa tapi kebanyakan para pemuda di tempat tinggalku berlulusan sarjana,Para pemuda didesaku sanggat mempunyai semanggat yang tinggi tentang pendidika,dan sangat mengutamakan soal pendidikan.Para pemuda didesaku kebanyakan setelah lulus dari SMA langsung keluar dari desa untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi,dan ada juga yang mencari sebuah penggalaman kerja.
Di desaku yaitu desa Kebumen ada 9 dusun atau dukuh.Antara lain;
1.      Dukuh Kepil
2.      Dukuh Likasari
3.      Dukuh Kebonwage
4.      Dukuh Kayumas Lor
5.      Dukuh Kayumas Kidul
6.      Dukuh Gentan
7.      Dukuh Tegaron Wetan
8.      Dukuh Sukodono
9.      Dukuh Demolo
Dari cerita diatas dapat disimpulkan bahwa tempat tinngalku tergolong dari pedesaan.Dari dulu hingga sekarang tempat tinggal yang aku  tempati adalah  didesa Kebumen.Dari riwayat keluargaku sampai sekarang masih bertempat tinggal sama seperti yang aku tempati sampai saat ini.Dan tempat tinggalku masih mempunyai ciri-ciri dan karakter yang kuat dari sebuah desa.Letak tempat tinggal ku cukup strategis,dan dekat dengan pegunuggan.Sehingga cuaca udaranya sanggat sejuk tidak seperti dengan cuaca diperkotaan.Masyarakat didesa ku juga masih percaya dan memegang teguh adat dan tradisi yang ditinggalkan para leluruh.
Kebiasaan yang masih dilakukan didesaku sampai saat ini yaitu para penduduk berlomba-lomba untuk bergotong  royong dalam membantu tetangga sekitar dan juga biasanya penduduk desaku menghabiskan waktu senggang dengan bersama.Kebanykan ditempat tinggalku tiap depan rumah ada tempat duduk,dan itu telah dijadikan dari sebuah tradisi ditempat ku  dengan makna tersendiri yaitu untuk bersilaturahmi dengan tetangga lain dan merupakan simbul keterbukaan antara tetangga.
Itulah sedikit cerita tentang tempat tinggalku,yaitu desa kebumen.

PEMANDIAN MUNCUL - KEBUMEN - BANYUBIRU - KABUPATEN SEMARANG

Address: JL. Raya Muncul, Rowoboni

Senin, 24 Maret 2014

Pemandangan 5 Gunung di Jateng dari Puncak Telomoyo



Rawa Pening dari ketinggian 1894 mdpl tampak seperti cerminAir Terjun berundak ukuran mini menyejukkan perjalananIni dia rute perjalanan yang harus ditempuhGunung Sumbing yang menawarkan eksotisme pemukiman dibawahnyPuncak Telomoyo dengan puluhan towernya
detikTravel Community -  Jika ingin mendapati pemandangan keren 5 gunung di Jateng akhir pekan ini, pergilah ke Gunung Telomoyo, Magelang. Keserasian suasana nan hijau cantik alami membawa rasa damai dan membuat liburan para wisatawan tak jadi sia-sia.

Magelang adalah kota dengan suasana alam natural yang asri, lembut dan sejuk. Bentangan sejumlah gunung atau pegunungan di kota ini menghasilkan keindahan yang tak pernah habis bila dituangkan dalam pena.

Sebut saja Gunung Merapi, merupakan salah satu gunung paling aktif di dunia yang hampir setiap 2-5 tahun sekali mengalami erupsi. Padahal di sekelilingnya merupakan pemukiman padat penduduk dengan jarak terdekat dari puncak, yaitu 4 km.

Tidak salah, kalau nama Merapi masuk dalam 16 gunung api dunia dalam proyek dekade, menurut Cascades Volcano Observatory, Vancouver, Washington dalam website resminya. Jajaran gunung dengan pesona yang indah juga ditawarkan di Kota Getuk ini. Antara lain Gunung Sumbing, Sindoro, Merbabu, Tidar, Andong, Telomoyo dan Pegunungan Menoreh.

Di sebelah utara, tepatnya di perbatasan Kabupaten Magelang dengan Kabupaten Semarang terdapat Gunung Telomoyo.  Puncak Telomoyo adalah salah satu puncak gunung yang paling mudah untuk diakses masyarakat yang tidak mempunyai keahlian khusus untuk mendaki gunung.

Selain itu, Gunung Telomoyo adalah salah satu opsi wisata gunung dengan tingkat kesulitan rendah di Magelang. Gunung yang memiliki ketinggian ketinggian 1.894 mdpl ini, biasanya diakses oleh pendaki atau wisatawan melalui Secang-Grabag-Telomoyo-Magelang.

Keindahan gunung berbentuk kerucut ini dapat dinikmati dari sekitar Kota Salatiga, Ambarawa, Kabupaten Semarang dan Magelang tentunya. Pendakian Gunung Telomoyo dapat dilakukan dengan jalan kaki ataupun kendaraan roda dua.

Suasana hangat menyelinap ketika pendakian mulai menemui jalan yang berkelok, ditemani dengan terik matahari yang mulai menyeimbang langkah. Pendakian memang sebaiknya dilakukan pada pagi hingga siang hari untuk menghindari kabut tebal yang biasanya turun selepas pukul 14.00.

Di awal pendakian, kita akan dimanjakan dengan pemandangan air terjun kecil dengan susunan bebatuan yang rapi dan unik. Tidak sedikit wisatawan yang rela menghentikan langkahnya untuk beristirahat atau sekadar mengambil foto di tempat unik tersebut.

Di sebelah kiri membentang pemandangan Kota Magelang yang elok dipandang mata dari lereng Telomoyo. Biasanya wisatawan disarankan untuk membawa bekal yang cukup dari bawah karena pendakian dengan jalan kaki akan memakan waktu kurang lebih 2 jam dan 1 jam untuk wisatawan yang menempuh pendakian dengan kendaraan bermotor roda dua.

Selain jalan yang berkelok dan menanjak, tantangan terberat wisatawan yang membawa kendaraan bermotor adalah jalan berlubang. Jalan ini cukup banyak ditemui di sepanjang pendakian. Selain itu, ada pula potensi terpeleset karena medan yang cukup licin apabila wisatawan berkunjung di musim penghujan.

Meskipun perjalanan cukup melelahkan, tapi kebanyakan wisatawan tetap menikmati pendakian. Karena di sepanjang perjalanan kita akan disuguhi panorama rimbunnya pohon pinus yang masih nampak asri dengan sistem penanaman yang rapi.

Di sisi kanan pemandangan Gunung Sumbing dengan keindahan terasering di kaki gunungnya membuat kita terbawa ke suasana penuh keteduhan. Selain itu, di beberapa sudut lereng pada perjalanan ke puncak Telomoyo kita bisa melihat beberapa titik pemberangkatan flying fox. Biasanya dimanfaatkan para pecinta alam untuk melakukan olahraga adrenalin pada musim kemarau, atau saat cuaca di lereng Telomoyo cukup cerah dan tidak berkabut.

Sampai pada tengah pendakian Gunung Telomoyo, hawa dingin akan lebih kental terasa di tubuh. Namun hal tersebut akan terbayar dengan panorama indah Kota Salatiga dan Ambarawa ditemani dengan 'kaca benggala' besar yang berada di tengahnya.

Ya, itu adalah Rawa Pening. Dari sisi sebelah kanan mulai kita bisa mengeksplorasi pandangan jauh ke bawah dengan teropong atau lensa kamera untuk mengabadikannya. Untuk pecinta wisata alam, memang tidak akan rugi melakukan pendakian sederhana ke puncak gunung berapi yang belum pernah meletus ini.

Telomoyo yang diapit oleh Gunung Ungaran, Andong, Sumbing dan Merbabu ini merupakan gunung bentukan akibat erosi dari Gunung Suropati yang runtuh sejak zaman dahulu. Sehingga pesona Gunung Telomoyo dari kejauhan memang membentuk cekungan U dan membuat banyak ketertarikan wisatawan untuk melakukan pendakian.

Sampai puncak pendakian Telomoyo, semua rasa penat dan lelah selama pendakian akan hilang seketika karena ujung pandangan kita akan dipuaskan dengan pesona keindahan yang sempurna di sekeliling puncak. Ditemani cantiknya bunga edelweis saat mekar, kita akan dimanjakan suasana penuh kesejukan dengan view Gunung Ungaran yang terlihat jelas.

Gunung Andong yang terasa amat dekat dengan puncak, Sumbing dengan terasering indahnya, Rawa Pening dengan kebun enceng gondok ditengahnya yang amat luas, serta pemandangan Kota Magelang, Ambarawa, Salatiga dan sekitarnya yang terlihat menghijau.

Selain itu, beberapa perusahaan radio dan provider telekomunikasi memanfaatkan pucak Telomoyo untuk mendirikan menara penerus sinyal. Penduduk di sekitar Gunung Telomoyo berharap, wisata Gunung Telomoyo ini lebih dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Magelang atau dinas terkait.

Selain memang memiliki nilai wisata yang berkualitas, dengan dikembangkannya pengelolaan obyek wisata ini warga di sekitar Telomoyo bisa menambah penghasilan mereka dengan membuka usaha atau berdagang di sekitar tempat wisata.

Sejauh ini, mereka hanya meraup hasil dari jasa penjagaan atau parkir kendaraan roda dua dan empat yang ingin melakukan pendakian serta kamar mandi umum. Biaya tiket masuk pendakian Telomoyo yang seharga Rp 5.000 tetap disetorkan kepada perangkat desa atau pengelola yang kemudian akan disalurkan ke pemerintah sesuai prosedurnya.

Minggu, 20 Oktober 2013

KAMPUNG RAWA AMBARAWA

Brosur Kampung Rawa Ambarawa




Foto-foto di Kampung Rawa Ambarawa










Saat ini udah ada jalan lingkar di Ambarawa, tiap kali lewat sana selalu tertarik dengan sebuah tempat yang berada ditengah sawah. Sepertinya sih tempat makan...
Akhirnya, beberapa waktu lalu ketika pulang dari jogja kita menyempatkan mampir kesana
Ternyata nama tempat itu Kampoeng Ambarawa, rumah makan lesehan dan pemancingan. Fasilitasnya juga udah lumayan lengkap untuk sebuah tempat yang baru dibuka. Ada motor ATV, perahu kayu, bebek air, becak air dan becak mini bendi. Kemarin ayah nyobain becak mini nya sama anak2.
Ternyata sudah ada Web nya juga. www.kampoengrawa.com
Alamat lengkapnya ada di Jl Lingkar Ambarawa KM 03 Kec. Ambarawa Kab. Semarang, Jawa Tengah. Telp (0298) 6170152.
Sepertinya usaha ini adalah usaha bersama yang didukung oleh koperasi simpan pinjam setempat..
Lumayan, sebagai tempat melepas lelah. Mungkin karena masih baru juga jadi belum begitu rapi, masih ada yang dibangun disana-sini. Karena ini adalah usaha rakyat, seharusnya didukung ya agar bisa lebih maju lagi.

Senin, 20 Mei 2013

WISATA RAWA PENING

Rawa Pening

taman wisata rawa pening
Rekreasi Keluarga | Taman Wisata Rawa Pening Kab Semarang


Rawa Pening adalah danau sekaligus tempat wisata air dengan luas 2.670 hektare yang menempati wilayah Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Rawa Pening ini berada di cekungan terendah lereng Gunung Telomoyo, Gunung Merbabu, dan Gunung Ungaran. Daya tarik yang ada di Rawa Pening: Wisata Tirta: dengan perahu tradisional, Penghasil enceng gondok sebagai bahan kerajinan, area pemancingan alam, Sumber mata pencaharian nelayan dan petani ikan, Obyek fotografi yang sangat mempesona.
rawa pening di pagi hari
Danau ini mengalami pendangkalan yang pesat. Di tengah tengahnya banyak sekali tumbuh enceng gondok yang hampir menutupi seluruh permukaannya sebagian menjadi tempat mencari ikan. Gulma ini juga sudah menutupi Sungai Tuntang, terutama di bagian hulu. Usaha mengatasi spesies invasif ini dilakukan dengan melakukan pembersihan serta pelatihan pemanfaatan eceng gondok dalam kerajinan, namun tekanan populasi tumbuhan ini sangat tinggi. Saat menyewa perahu motor ke tengah rawa terasa sekali aura mistis dan misteriusnya, namun sayang segala potensi yang ada kurang bisa tergali karena pengelolaan yang terkesan seadanya. Untuk bisa ke tengah rawa pening ini bisa menyewa perahu motor dengan tarif 30 ribu rupiah untuk 30 menit max 6 orang. Rawa Pening juga merupakan salah satu tempat yang indah untuk foto foto Pre Wedding.

Minggu, 05 Mei 2013

LEGENDA RAWA PENING - AMBARAWA - KABUPATEN SEMARANG

Rawa Pening adalah sebuah danau yang merupakan salah satu obyek wisata air di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Danau ini tepatnya berada di cekungan terendah antara Gunung Merbabu, Telomoyo, dan Ungaran. Rawa Pening memiliki ukuran sekitar 2.670 hektar yang menempati empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Menurut cerita, danau ini terbentuk akibat suatu peristiwa yang pernah terjadi di daerah tersebut. Peristiwa apakah itu? Berikut kisahnya dalam cerita Legenda Rawa Pening.

* * *
Dahulu, di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo terdapat sebuah desa bernama Ngasem. Di desa itu tinggal sepasang suami-istri yang bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta yang dikenal pemurah dan suka menolong sehingga sangat dihormati oleh masyarakat. Sayangnya, mereka belum mempunyai anak. Meskipun demikian, Ki Hajar dan istrinya selalu hidup rukun. Setiap menghadapi permasalahan, mereka selalu menyelesaikannya melalui musyawarah.
Suatu hari, Nyai Selakanta duduk termenung seorang diri di depan rumahnya. Tak lama kemudian, Ki Hajar datang menghampiri dan duduk di sampingnya.
“Istriku, kenapa kamu terlihat sedih begitu?” tanya Ki Hajar.
Nyai Selakanta masih saja terdiam. Ia rupanya masih tenggelam dalam lamunannya sehingga tidak menyadari keberadaan sang suami di sampingnya. Ia baru tersadar setelah Ki Hajar memegang pundaknya.
“Eh, Kanda,” ucapnya dengan terkejut.
“Istriku, apa yang sedang kamu pikirkan?” Ki Hajar kembali bertanya.
“Tidak memikirkan apa-apa, Kanda. Dinda hanya merasa kesepian, apalagi jika Kanda sedang pergi. Sekiranya di rumah ini selalu terdengar suara tangis dan rengekan seorang bayi, tentu hidup ini tidak sesepi ini,” ungkap Nyai Selakanta, “Sejujurnya Kanda, Dinda ingin sekali mempunyai anak. Dinda ingin merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.”
Mendengar ungkapan isi hati istrinya, Ki Hajar menghela nafas panjang.
“Sudahlah, Dinda. Barangkali belum waktunya Tuhan memberi kita anak. Yang penting kita harus berusaha dan terus berdoa kepada-Nya,” ujar Ki Hajar.
“Iya, Kanda,” jawab Nyai Selakanta sambil meneteskan air mata.
Ki Hajar pun tak kuasa menahan air matanya melihat kesedihan istri yang amat dicintainya itu.
“Baiklah, Dinda. Jika memang Dinda sangat menginginkan anak, izinkanlah Kanda pergi bertapa untuk memohon kepada Yang Mahakuasa,” kata Ki Hajar.
Nyai Selakanta pun memenuhi keinginan suaminya, meskipun berat untuk berpisah. Keesokan harinya, berangkatlah Ki Hajar ke lereng Gunung Telomoyo. Tinggallah kini Nyai Selakanta seorang diri dengan hati semakin sepi.
Berminggu-minggu, bahkan sudah berbulan-bulan Nyai Selakanta menunggu, namun sang suami belum juga kembali dari pertapaannya. Hati wanita itu pun mulai diselimuti perasaan cemas kalau-kalau terjadi sesuatu pada suaminya.
Suatu hari, Nyai Selakanta merasa mual dan kemudian muntah-muntah. Ia pun berpikir bahwa dirinya sedang hamil. Ternyata dugaannya benar. Semakin hari perutnya semakin membesar. Setelah tiba saatnya, ia pun melahirkan. Namun, alangkah terkejutnya ia karena anak yang dilahirkan bukanlah seorang manusia, melainkan seekor naga.
Ia menamai anak itu Baru Klinthing. Nama ini diambil dari nama tombak milik suaminya yang bernama Baru Klinthing. Kata “baru” berasal dari kata bra yang artinya keturunan Brahmana, yaitu seorang resi yang kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. Sementara kata “Klinthing” berarti lonceng.
Ajaibnya, meskipun berwujud naga, Baru Klinthing dapat berbicara seperti manusia. Nyai Selakanta pun terheran-heran bercampur haru melihat keajaiban itu. Namun di sisi lain, ia juga sedikit merasa kecewa. Sebab, betapa malunya ia jika warga mengetahui bahwa dirinya melahirkan seekor naga. Untuk menutupi hal tersebut, ia pun berniat untuk mengasingkan Baru Klinthing ke Bukit Tugur. Tapi sebelum itu, ia harus merawatnya terlebih dahulu hingga besar agar dapat menempuh perjalanan menuju ke lereng Gunung Telomoyo yang jaraknya cukup jauh. Tentu saja, Nyai Selakanta merawat Baru Klinthing dengan sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan warga.
Waktu terus berjalan. Baru Klinthing pun tumbuh menjadi remaja. Suatu hari, anak itu bertanya kepada ibunya. 
“Bu, apakah aku mempunyai ayah?” tanyanya dengan polos.
Nyai Selakanta tersentak kaget. Ia benar-benar tidak pernah menduga pertanyaan itu keluar dari mulut anaknya. Namun, hal itu telah menyadarkan dirinya bahwa sudah saatnya Baru Klinthing mengetahui siapa ayahnya. 
“Iya, anakku. Ayahmu bernama Ki Hajar. Tapi, ayahmu saat ini sedang bertapa di lereng Gunung Telomoyo. Pergilah temui dia dan katakan padanya bahwa engkau adalah putranya,” kata Nyai Selakanta.
“Tapi, Bu. Apakah ayah mau mempercayaiku dengan tubuhku seperti ini?” tanya Baru Klinthing dengan ragu.
“Jangan khawatir, Anakku! Bawalah pusaka tombak Baru Klinthing ini sebagai bukti,” ujar Nyai Selakanta, “Pusaka itu milik ayahmu.”
Setelah memohon restu dan menerima pusaka dari ibunya, Baru Klinthing berangkat menuju lereng Gunung Telomoyo. Setiba di sana, masuklah ia ke dalam gua dan mendapati seorang laki-laki sedang duduk bersemedi. Kedatangan Baru Klinting rupanya mengusik ketenangan pertapa itu.
“Hai, siapa itu?” tanya pertapa.
“Maafkan saya, tuan, jika kedatangan saya mengganggu ketenangan Tuan,” kata Baru Klinting.
Betapa terkejutnya pertapa itu saat melihat seekor naga yang dapat berbicara.
“Siapa kamu dan kenapa kamu bisa berbicara seperti manusia?” tanya pertapa itu dengan heran.
“Saya Baru Klinthing,” jawab Baru Klinthing. “Kalau boleh tahu, apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar?”
“Iya, aku Ki Hajar. Tapi, bagaimana kamu tahu namaku? Siapa kamu sebenarnya?” tanya pertapa itu penasaran.
Mendengar jawaban itu, Baru Klinthing langsung bersembah sujud di hadapan ayahnya. Ia kemudian menjelaskan siapa dirinya. Awalnya, Ki Hajar tidak percaya jika dirinya memiliki anak berujud seekor naga. Ketika naga itu menunjukkan pusaka Baru Klinthing kepadanya, Ki Hajar pun mulai percaya. Namun, ia belum yakin sepenuhnya.
“Baiklah, aku percaya jika pusaka Baru Klinthing itu adalah milikku. Tapi, bukti itu belum cukup bagiku. Jika kamu memang benar-benar anakku, coba kamu lingkari Gunung Telomoyo ini!” ujar Ki Hajar.
Baru Klinthing segera melaksanakan perintah tersebut untuk meyakinkan sang ayah. Berbekal kesaktian yang dimiliki, Baru Klinting berhasil melingkari Gunung Telomoyo. Akhirnya, Ki Hajar pun mengakui bahwa naga itu adalah anaknya. Setelah itu, ia kemudian memerintahkan anaknya untuk bertapa di Bukit Tugur.
“Pergilah bertapa ke Bukit Tugur!” ujar Ki Hajar, “Suatu saat kelak, tubuhmu akan berubah menjadi manusia.”
“Baik,” jawab Baru Klinthing.
Sementara itu, tersebutlah sebuah desa bernama Pathok. Desa ini sangat makmur, namun sayang penduduk desa ini sangat angkuh. Suatu ketika, penduduk Desa Pathok bermaksud mengadakan merti dusun (bersih desa), yaitu pesta sedekah bumi setelah panen. Untuk memeriahkan pesta, akan digelar berbagai pertunjukan seni dan tari. Berbagai makanan lezat pun akan disajikan sebagai hidangan bersama dan jamuan untuk para tamu undangan. Untuk itulah, para warga beramai-ramai berburu binatang di Bukit Tugur.
Sudah hampir seharian mereka berburu, namun belum satu pun binatang yang tertangkap. Ketika hendak kembali ke desa, tiba-tiba mereka melihat seekor naga sedang bertapa. Naga ini tak lain adalah Baru Klinthing. Mereka pun beramai-ramai menangkap dan memotong-motong daging naga itu lalu membawanya pulang. Setiba di desa, daging naga itu mereka masak untuk dijadikan hidangan dalam pesta.
Ketika para warga sedang asyik berpesta, datanglah seorang anak laki-laki yang tubuhnya penuh dengan luka sehingga menimbulkan bau amis. Rupanya, anak laki-laki itu adalah penjelmaan Baru Klinthing. Oleh karena lapar, Baru Klinthing pun ikut bergabung dalam keramaian itu. Saat ia meminta makanan kepada warga, tak satu pun yang mau memberi makan. Mereka justru memaki-maki, bahkan mengusirnya.
“Hai, pengemis. Cepat pergi dari sini!” usir para warga, “Tubuhmu bau amis sekali.”
Sungguh malang nasib Baru Klinthing. Dengan perut keroncongan, ia pun berjalan sempoyongan hendak meninggalkan desa. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang janda tua bernama Nyi Latung.
“Hai, anak muda. Kenapa kamu tidak ikut berpesta?” tanya Nyi Latung.
“Semua orang menolak kehadiranku di pesta itu. Mereka jijik melihat tubuhku,” jawab Baru Klinthing, “Padahal, saya lapar sekali.”
Nyi Latung yang baik hati itu pun mengajak Baru Klinthing ke rumahnya. Nenek itu segera menghidangkan makanan lezat.
“Terima kasih, Nek,” ucap Baru Klinthing, “Ternyata masih ada warga yang baik hati di desa ini.”
“Iya, cucuku. Semua warga di sini memiliki sifat angkuh. Mereka pun tidak mengundang Nenek ke pesta karena jijik melihatku,” ungkap Nyi Latung.
“Kalau, begitu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Baru Klinthing. “Jika nanti Nenek mendengar suara gemuruh, segeralah siapkan lesung kayu (lumpang: alat menumbuk padi)!”
Baru Klinthing kembali ke pesta dengan membawa sebatang lidi. Setiba di tengah keramaian, ia menancapkan lidi itu ke tanah.
“Wahai, kalian semua. Jika kalian merasa hebat, cabutlah lidi yang kutancapkan ini!” tantang Baru Klinthing.
Merasa diremehkan, warga pun beramai-ramai hendak mencabut lidi itu. Mula-mula, para anak kecil disuruh mencabutnya, tapi tak seorang pun yang berhasil. Ketika giliran para kaum perempuan, semuanya tetap saja gagal. Akhirnya, kaum laki-laki yang dianggap kuat pun maju satu persatu. Namun, tak seorang pun dari mereka yang mampu mencabut lidi tersebut.
“Ah, kalian semua payah. Mencabut lidi saja tidak bisa,” kata Baru Klinthing.
Baru Klinthing segera mencabut lidi itu. Karena kesaktiannya, ia pun mampu mencabut lidi itu dengan mudahnya. Begitu lidi itu tercabut, suara gemuruh pun menggentarkan seluruh isi desa. Beberapa saat kemudian, air menyembur keluar dari bekas tancapan lidi itu. Semakin lama semburan air semakin besar sehingga terjadilah banjir besar. Semua penduduk kalang kabut hendak menyelamatkan diri. Namun, usaha mereka sudah terlambat karena banjir telah menenggelamkan mereka. Seketika, desa itu pun berubah menjadi rawa atau danau, yang kini dikenal dengan Rawa Pening.
Sementara itu, usai mencabut lidi, Baru Klinthing segera berlari menemui Nyi Latung yang sudah menunggu di atas lesung yang berfungsi sebagai perahu. Maka, selamatlah ia bersama nenek itu. Setelah peristiwa itu, Baru Klinthing kembali menjadi naga untuk menjaga Rawa Pening.
* * *
Demikian cerita Legenda Rawa Pening dari Jawa Tengah. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah sifat angkuh, sombong, dan tidak menghargai orang lain adalah sifat tidak terpuji. Saling membantu dan saling tolong menolong merupakan perbuatan baik yang patut untuk dicontoh, tanpa memandang latar belakang status sosial, agama, asal, dan kondisi fisik orang yang ditolong.

Minggu, 28 April 2013

Wisata budaya Candi Gedongsongo

CANDI GEDONG SONGO
28 April 2013

    • Lokasi : Dusun Darum, Desa Candi, Kec. Bandungan
    • Jarak tempuh :
      • Gedong Songo - Kota Ungaran : 19 km
      • Gedong Songo - Kota Ambarawa : 13 km
      • Gedong Songo - Kota Semarang : 30 km
    • Daya Tarik :
      • Wisata Sejarah: Salah satu penginggalan Hindu Sanjaya pada abad IX (tahun 927 M)
      • Wisata Alam: Panorama alam pegunungan dengan hawa yang sejuk, dan terdapat pemandian air panas.
      • Area perkemahan, Panjat tebing Alam
    • Daya Dukung Wisata :
      • Hotel (dengan paket murah)
      • Jasa Kuda sebagai transportasi
    • Deskripsi :
      Candi Gedongsongo merupakan sebuah komplek candi hindu yang berada di kaki Gunun Ungaran, tepatnya di dusun darum, Desa Candi, Kecamata Bandungan Kabupaten Semarang yang berjarak 9 km dari kecamatan Ambarawa dan 12 km dari kota Ungaran. Ditemukan oleh
      Thomas Stamford Raffles dari inggris pada tahun 1804. Candi Gedongsong termasuk salah satu peninggalan budaya Hindu dari zaman Wangsa Sanjaya pada abad IX (tahun 921 M). Candi ini sebetulnya terdiri dari 9 bangunan namun saat ini hanya tinggal 4 bangunan yang masih utuh sementara 5 lainnya hanya tinggal puing. Candi Gedong songo selain sebagai tempat wisata budaya, juga merupakan obyek wisata alam dengan hawa yang sejuk dan pemandangan alamnya yang indah dimana pengunjung bisa melihat indahnya jajaran gunung berapi mulai dari Gunung Telomoyo, Gunung Merbabu, Gunung Merapi, Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing hal ini bisa didapati jika cuaca cerah dan tidak ada mendung, juga hamparan membiru Rawa Pening bisa terlihat dari lokasi ini. Obyek Wisata ini dilengkapi pula dengan pemandian air panas, area perkemahan, wisata berkuda, Wahana panjat tebing alam dan saat ini dilengkapi dengan cottage (Vanna Prasta) di area Hutan Pinus diatas candi 1.

  • Gedongsongo Temple is a complex of Hinduism heritage buildings located in Darum sub-village, Candi Village, Bandungan sub-district Semarang regency at the slope of Ungaran Mount about 9 Kilometers away from Ambarawa sub district and 12 Kilometers from Ungaran town. This temple claimed to be found by Thomas Stamford Raffles from England in 1804. Gedongsongo temple built around 9th century (912 AD) when it’s ruled by Sanjaya Dynasty. It was consist of 9 separated temples, which unfortunetly only 4 of them are still completed while 5 other temples in ruin. Gedongsongo temple is not only known as Culteral torism object but the fresh air and the beauty of it’s scenery made this temple as a natural tourism object by visitors. The range of Mount Volcanoes can be seen from here such as Telomoyo Mount, Merbabu Mount, Mount of Merapi, Mount of Sindoro and Mount Of Sumbing if the weather is good and not cloudy. The spread of Rawa Pening Swamp can also be seen from this location. This object equipped with hot spring pool, camping area, horse ridding tour, natural rock climbing, this time this temple also has a cottage (Vanna Prasta) in the area of pine forest.
    Jajaran Candi Gedongsongo dilihat dari berbagai sudut.



    Lokasi 9 candi yang tersebar di lereng Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam yang indah. Di sekitar lokasi juga terdapat hutan pinus yang tertata rapi serta mata air yang mengandung belerang. Kabut tipis turun dari atas gunung sering muncul mengakibatkan mata tidak dapat memandang Candi Gedongsongo dari kejauhan. Candi ini memiliki persamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini terletak pada ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu udara disini cukup dingin.


    Untuk menuju ke Candi Gedong I, kita harus berjalan sejauh 200 meter melalui jalan setapak yang naik. Terletak diketinggian 1.208 mdpl. Bentuk atap candinya terdiri atas 3 tingkat. Masing-masing tingkat dihiasi oleh segitiga-segitiga dengan ukiran. Di dalam candi 1 ini terdapat Yoni namun tanpa Lingga.


    ­­­­­­­­­­­­­­­­­­

    Candi Gedong II

    Terletak diketinggian 1.274 mdpl. Terdapat 2 candi yaitu candi induk (menghadap barat) dan dihadapannya terdapat sebuah candi Perwara (menghadap timur) yang telah runtuh. Atapnya tersusun atas 4 tingkat dengan stupa dan hiasan Antefix. Artefix adalah ukiran seorang dewa dalam posisi bersila berada di dalam segitiga berukiran pot dengan salur-salur daunnya.


    Candi Gedong III
    Terletak pada ketinggian 1.297 mpdl. Candi ini memiliki 3 buah bangunan terdiri dari satu candi induk dan dua candi pendamping dengan formasi membentuk huruf L. tepat di muka candi induk yang menghadap kea rah barat, ada bangunan yang dulu dipergunakan sebagai tempat para pendeta beristirahat.


    Disela-sela antara Candi Gedong III dengan Gedong IV terdapat sebuah kepunden gunung sebagai sumber air panas dengan kandungan belerang cukup tinggi. Para wisatawan dapat mandi dan menghangatkan tubuh disebuah pemandian yang dibangun di dekat kepunden tersebut. Bau belerangnya cukup kuat dan kepulan asapnya lumayan tebal ketika mendekati sumber air panas tersebut.



    Candi Gedong IV
    Terletak pada ketinggian 1.295 mpdl. Candi ini mempunyai keunikan tersendiri . Ada 8 candi yang mengelilingi candi utama.Ini bisa dilihat dari puing-puing yang berformasi 2 candi di samping kanan-kiri, sebuah di belakang dan tiga buah di depan candi utama.

    Candi Gedong V
    Terletak pada ketinggian 1.308 mpdl., terdapat dua halaman yang tidak sama tingginya, di halaman pertama terdapat candi induk yang diapit dua buah reruntuhan Candi Perwara. Sedangkan pada halaman kedua terdapat dua buah reruntuhan Candi Perwara bentuk candi kelima ini mirip dengan candi keempat.

    Karena keindahannya Candi Gedong Songo ini sering menjadi tempat yang indah untuk foto foto Pre Wedding.

    Tiket Masuk: Rp 6.000/orang di hari biasa, Rp 7.500/orang pada hari Libur dan Rp 50.000/orang(Wisatawan Asing). Anda bisa memanfaatkan jasa transportasi kuda untuk berwisata mengelilingi obyek wisata Candi Gedongsongo.

    Tarif Jasa Naik Kuda Candi Gedong Songo
    - Wisata Desa Rp 25.000 (Wisman Rp 35.000)
    - Ke Air Panas Rp 40.000 (Wisman Rp 60.000)
    - Ke Candi II Rp 30.000 (Wisman Rp 40.000)
    - Paket candi Songo Rp 50.000 (Wisman Rp 70.000) Untuk menuju Candi Gedong Songo diperlukan perjalanan sekitar 20 menit dari Ambarawa dengan jalanan yang naik, dan kemiringannya sangat tajam. Lokasi candi juga dapat ditempuh dalam waktu 10 menit dari obyek wisata Bandungan. Berikut daftar jarak tempuh menuju candi ini.
    - Ungaran – Gedong Songo : 19 km
    - Ambarawa – Gedong Songo : 13 km
    - Semarang – Gedong Songo : 30 km